Tiba-tiba muncul peristiwa aneh. Bung Karno yang sedang thowaf mengelilingi Ka’bah ditabrak seorang wanita hingga terjatuh. Beruntung Kiai Musaddad yang ada disampingnya segera menyambar tangan BK.
Usai keduanya tenang, Kiai Musaddad berbisik kepada Bung Karno : “Paduka, di sekeliling Ka’bah penuh dengan tamsil-tamsil”. Bung Karno tidak langsung bisa menerima kalimat itu. “Kalau yang baru saja terjadi itu tamsilnya apa Kiai?” tanya Bung Karno. “Paduka perlu berhati-hati dengan wanita” jawab Kiai Musaddad, tak peduli mata Bung Karno melotot ke arah dirinya.
Usai menjalankan ibadah haji, keduanya melakukan lawatan ke negara-negara Islam, seperti Mesir, Turki , Sudan , Aljazair, dan lain sebagainya. Di negara-negara muslim itu Bung Karno berpidato dalam Bahasa Inggris, sedangkan Kiai Musaddad yang menerjemahkannya ke dalam Bahasa Arab. Ketika shalat Jum’at di masjid kampus Al-Azhar, Mesir, Kiai Musaddad didaulat menjadi khatib. Sementara Bung Karno dan Jamal Abdul Naser sebagai mustami’in.
Beliau lahir di Garut 3 April 1909. menamatkan pendidikan di Volk School tahun 1922. melanjutkan ke MULO (setingkat SMP) Kristelijk di Garut, lalu ke AMS (setingkat SMA) Kristelijk di Sukabumi. Setelah menamatkan pendidikan pendidikan di sekolah Katolik tersebut, ia melanjutkan ke Pesantren Darussalam Wanaraja, Garut. Setelah 2 tahun di sana , beliau berangkat ke Tanah Suci Makkah dan belajar di Madrasah Al-Falah selama 11 tahun. Tamat AMS beliau sudah mahir berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman. Sedangkan Bahasa Arab dipelajari ketika berada di Makkah.
Di sekolah Darul Falah Makkah, selain belajar beliau juga mengajar Bahasa Inggris dan Matematika. Di Antara muridnya terdapat nama Muzakky Al-Yamany, yang kelak menjadi Menteri Perminyakan saudi Arabia . Tahun 1963 menyandang gelar gelar profesor dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam bidang Ushuluddin.
Hasil pemilu 1955 mengantarkan dirinya menjadi anggota DPR. Posisi sebagai wakil rakyat mewakili NU itu dijabat hingga tahun 1967. Jabatan lainnya, beliau pernah menjabat sebagai ketua PP LP Ma’arif (1957), Rais Syuriah III PBNU hasil Muktamar Bandung (1974), wakil Rais Aam PBNU hasil Muktamar Semarang (1979), dua kali menempati posisi Mustasyar hasil Muktamar Krapyak dan Tasikmalaya. Dalam Muktamar Kediri, beliau berhalangan hadir karena usia sepuhnya.
Pengalaman lain, sejak tahun 1953 pindah ke Yogyakarta . Ketika ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogya, Kiai Musaddad menjadi Ketua Urusan Masjid se-Indonesia (semacam dewan masjid). Beliau juga salah seorang pendiri Universitas Islam Indonesia dan PTAIN (kelak menjadi IAIN, dan sekarang UIN). Pernah juga menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin PTAIN hingga berganti nama menjadi IAIN Sunan Kalijaga (1963-1967). Kemudian beliau pindah ke Bandung menjadi Rektor IAIN Sunan Gunungjati (1967-1974). Sejak tahun 1976 pindah ke Garut, mendirikan Pesantren Al-Musaddadiyah.
Di antara ciri khas Kiai Musaddad, setiap memberikan pengajian –di manapun- selalu menggunakan layar lebar. Beliau menyebutnya sebagai “film akhirat”, yang untuk masa sekarang tidak jauh beda dengan Big Screen. Kiai Musaddad menggunakannya sejak tahun 1955.
Kiai Anwar Musaddad wafat pada 19 Rabiutsani 1422/2000 dalam usia 91 tahun. Dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Pondok Pesantren Musaddadiyah, Garut Jawa Barat yang berada di sisi utara masjid lama.
Ref : Buku Antologi NU